..ALKISAH..
berkewajiban mendidik anaknya. Ya, sesekali aku shalat karena cinta pada orang tua. Takut kalau mereka harus masuk neraka karena aku tidak shalat. Padahal hakikatnya kalimat dosa ditanggung oleh orang tua itu adalah agar anak jadi rajin beribadah, karena biasanya anak-anak akan mencintai orang tuanya dan tidak mau kalau orang tuanya masuk neraka.
Menginjak usia 13 tahun, aku juga belum shalat. Lah, kan aku belum baligh. Jadi belum menanggung
dosa sendiri. Masih ada orang tua yang bisa dijadikan tameng dari dosa-dosa.
Lagipula di usia itu adalah saat yang paling enak untuk bermain dengan teman
sebaya. Bermain sepak bola, kejar-kejaran
Di usia 17 tahun, aku tahu aku sudah menanggung dosa sendiri. Karena sudah baligh,
sudah mimpi naik ke bulan. Sebuah istilah yang aku tidak
tahu apa artinya. Tapi aku baru naik ke bulan selama dua tahun. Jadi dosaku masih dua tahun, masih sedikit.
Jadi, umur 20 tahun nanti lah aku akan mengganti shalat yang tertinggal itu
Di usia 20 tahun, aku mulai mempertanyakan agamaku. Aku sudah masuk kuliah dan
harus kritis. Jadi aku bertanya tentang tuhan, tentang kitab suci, tentang nabi
dan tentang kebenaran dari semuanya. Aku tidak mungkin shalat dalam keadaan
labil. Aku harus menemukan jati diriku
Di usia 24 tahun, aku selesai kuliah. Agamaku telah mulai kuyakini. Tapi kini aku
tengah sibuk mencari kerja.
Jadi aku sibuk kesana kemari. Mencari lowongan, menyiapkan berkas lamaran. dan itu melelahkan sekali. Aku tidak memiliki waktu untuk shalat. Shalat sih sebentar saja, tapi kadang terlalu sering menginterupsi
Jadi aku sibuk kesana kemari. Mencari lowongan, menyiapkan berkas lamaran. dan itu melelahkan sekali. Aku tidak memiliki waktu untuk shalat. Shalat sih sebentar saja, tapi kadang terlalu sering menginterupsi
Di usia 25 tahun, Aku belum mendapat kerja. Aku menggugat tuhan. Aku telah
berusaha, tapi aku tidak mendapatkan. Aku jadi tidak mau shalat
Di usia 27 tahun, Aku sudah bekerja di sebuah perusahaan ternama. Posisiku juga
lumayan. Tapi, sibuknya bukan main. Sebentar-sebentar HP berdering. Lagi pula
aku tengah pedekate dengan seorang gadis pujaan. Dengan seabrek
kesibukan itu, mana sempat aku shalat
kesibukan itu, mana sempat aku shalat
Usiaku beranjak 30, ketika anak pertamaku lahir. Duh senangnya, karirku juga makin
mapan. Namun, kesibukan makin merajai. Aku harus mengejar setiap kesempatan
untuk masa depan keluargaku. Pertumbuhan anakku juga menyita perhatian yang
besar, aku juga harus menyekolahkan anakku ke sekolah umum dan agama agar kelak
ia berguna bagi bangsa dan agamanya
Di usia 35, anak keduaku lahir. Dia wanita, cantik sekali. Bahkan sering aku
memandikan dan menggantikan popoknya. Hidupku serasa lengkap sekali. Tapi,
biaya hidup makin meningkat. Orang tuaku juga sudah mulai sakit-sakitan dan
butuh biaya berobat. Aku harus makin rajin bekerja untuk menafkahi mereka.
Sholat masih bisa kumulai di usia 40 nanti, pikirku
Di usia 40, entah kenapa anakku tak seperti yang kuharapkan. Aku tak
menyangka mereka bisa senakal itu. Bahkan anak pertamaku pernah tertangkap
karena menghisap daun ganja. Daun surga katanya. Aku tak bisa konsentrasi untuk
shalat. Ada saja yang membuat aku tak pernah melakukan ibadah utama itu
45 tahun kujalani. Aku semakin lemah, tak sekuat dulu. Batuk sesekali mengeluarkan
darah. Istriku mulai rajin berdandan, sayangnya dia berdandan saat keluar rumah
saja. Di rumah, wajahnya tak pernah dipupur bedak sedikitpun. Aku merutuk, dosa
apa yang telah aku lakukan hingga hidupku jadi begini?
Usiaku menginjak 55, aku berpikir kalau usia 60 nanti adalah waktu yang tepat untuk
memulai shalat. Saat aku sudah pensiun dan aku akan tinggal di rumah saja. Saat
itu adalah saat yang tepat sekali untuk menghabiskan hari tua dan beribadah
sepenuhnya kepada tuhan.
Tapi aku sudah lupa bagaimana cara shalat. Aku lupa bacaannya. Aduh, aku harus mendatangkan seorang ustadz ke rumah seminggu 3 kali. Tapi aku tak kuat lagi untuk mengingat. Ingatanku tak setajam ketika dulu aku kerap juara
lomba di kampus atau sekolah. Atau ketika manajer perusahaan salut pada tingkat kecerdasanku. Kali ini semua telah pudar. Jadi, apa yang diajarkan ustadz itu sering membal dari telingaku. Lagipula, badanku sudah tak
begitu kuat untuk duduk lama-lama.
Kalau tidak salah, kali itu usiaku 59 tahun ketika istriku minta cerai. Alasannya tak lagi jelas kuingat, salah satunya katanya karena lututku tak kencang lagi bergoyang. Lucu ya? Entah kenapa juga dulu aku menikahinya,
umurnya 20 tahun lebih muda dariku. Dia memang istri keduaku. Istri pertamaku dulu hilang, dibawa sahabatku.
Tapi aku sudah lupa bagaimana cara shalat. Aku lupa bacaannya. Aduh, aku harus mendatangkan seorang ustadz ke rumah seminggu 3 kali. Tapi aku tak kuat lagi untuk mengingat. Ingatanku tak setajam ketika dulu aku kerap juara
lomba di kampus atau sekolah. Atau ketika manajer perusahaan salut pada tingkat kecerdasanku. Kali ini semua telah pudar. Jadi, apa yang diajarkan ustadz itu sering membal dari telingaku. Lagipula, badanku sudah tak
begitu kuat untuk duduk lama-lama.
Kalau tidak salah, kali itu usiaku 59 tahun ketika istriku minta cerai. Alasannya tak lagi jelas kuingat, salah satunya katanya karena lututku tak kencang lagi bergoyang. Lucu ya? Entah kenapa juga dulu aku menikahinya,
umurnya 20 tahun lebih muda dariku. Dia memang istri keduaku. Istri pertamaku dulu hilang, dibawa sahabatku.
Tak sampai usiaku 60, aku masih berusaha untuk shalat. Tapi serangan jantung membuat
rumah mewahku ramai. Mereka terlihat menangis. Bahkan anak pertamaku yang
membangkrutkan satu perusahaan keluargaku terlihat begitu tertekan. Ada kata
yang sepertinya ingin dia ucap.Terakhir aku akhirnya bisa shalat juga,
sayangnya aku tidak shalat dengan gerakku sendiri. Aku hanya terbaring atau
terbujur tepatnya. dan orang-orang menyalatkanku.
0 komentar:
Posting Komentar